Share

Kisah Pilu Sang Sprinter 'Cacat'

Achmad Firdaus, Jurnalis · Senin 25 Februari 2013 17:23 WIB
https: img.okezone.com content 2013 02 25 433 767329 tZFW1Up1eX.jpg Oscar Pistorius saat tampl di Olimpiade 2012 London (Foto: Reuters)
A A A

LAHIR ke dunia tanpa tulang fibula di kedua kakinya, Oscar Leonard Carl Pistorius, tidak patah semangat. Kekurangannya itu justru membuatnya kian kuat dalam menjalani hidup, hingga bisa mencetak sejarah baru di panggung multievent olehraga terakbar dunia, Olimpiade.

Pistorius lahir di Sandton, Provinsi Transvaal (sekarang Provinsi Gauteng), Johannesburg, Afrika Selatan, 22 November 1986. Pistorius merupakan anak kedua dari tiga bersaudara hasil pernikahan Henke dan Sheila Pistorius. Kakaknya bernama Carl sementara adik perempuannya bernama, Aimee Pistorius.

Follow Berita Okezone di Google News

Dapatkan berita up to date dengan semua berita terkini dari Okezone hanya dengan satu akun di ORION, daftar sekarang dengan klik disini dan nantikan kejutan menarik lainnya

Dilahirkan dengan kondisi cacat (tanpa tulang fibula lutut), Pistorius harus menerima kenyataan kedua kakinya diamputasi saat usianya baru 11 bulan.  Meski begitu, Pistorius mampu mengatasi kekurangannya dan melanjutkan hidupnya dengan kaki buatan.

Kehidupan masa kecil Pistorius bisa dibilang cukup tragis. Di usianya yang baru enam tahun, Pistorius harus menerima kenyataan ayah dan ibunya bercerai. Hubungannya dengan sang ayah yang seorang pengusaha pun menjadi tidak baik. Pistorius memilih tinggal bersama ibunya.

Namun, saat usianya menginjak 15 tahun, cobaan kembali datang. Sang ibu meninggalkannya untuk selama-lamanya lantaran komplikasi obat yang dikonsumsinya usai operasi histerektomi (pengangkatan rahim).

Menggeluti Olahraga

Meski masa kecilnya bisa dibilang cukup tragis, Pistorius tak patah arang. Dia mampu menjalankan pendidikannya dengan baik. Di usia 11 dia mulai menunjukkan ketertarikannya pada dunia olahraga. Dengan kaki buatan, dia sempat menggeluti olahraga polo air, tenis, gulat bahkan hingga masuk tim rugby di sekolahnya Pretoria Boys High School.

Pada tahun 2003, Pistorius yang saat itu berusia 17 tahun harus mengakhiri kariernya di dunia Rugby karena mengalami cedera lutut parah. Nah, setelah itu dia mulai tertarik pada dunia atletik (lari).

Selama menjalani proses rehabilitasi di University of Pretoria's High Performance Centre, Januari 2004, Pistorius mulai mengasah kebolehan berlarinya dengan bimbingan pelatihnya Ampie Louw. Nah, olahraga inilah yang hingga kini terus digelutinya.

Meski menggunakan kaki buatan, Pistorius menunjukkan bakatnya dalam berlari dengan kencang. Namun, kaki buatan yang digunakannya saat itu tidak cukup mendukungnya untuk bisa berlari dengan cepat.

Maka dari itu, Francois Vanderwatt seorang ahli dalam pembuatan kaki palsu membuatkan desain kaki palsu yang cocok. Dengan dibantu pembuatannya oleh arsitek lokal, Pistorius akhirnya mendapatkan sepasang kaki palsu. Namun, kaki palsu tersebut tidak cukup kuat, sehingga patah saat digunakan berlari.

Vanderwatt kemudian menyarankan Pistorius menemui seorang ahli pembuatan kaki palsu asal Amerika yang juga sprinter Paralympic (turnamen olahraga khusus orang cacat), Brian Frasure. Dia akhirnya dibantu mendapatkan kaki palsu yang memang didesain khusus untuk berlari. Kaki palsu ini diproduksi oleh perusahaan asal Islandia, Ossur.

Sambil mengasah bakatnya di dunia lari, Pistorius tak lantas melupakan studinya. Dia melanjutkan kuliah di University of Pretoria mengambil gelar B.Com di jurusan manajemen bisnis dan ilmu pengetahuan olahraga pada 2002.

Di usia 26, Pistorius sempat mengatakan, bahwa dirinya tidak akan lulus dengan cepat karena disibukkan serangkaian latihan berlari. “Saya harap bisa lulus tepat waktu, yakni pada usia 30 tahun!” katanya saat itu.

Benar saja. Dia tidak mampu menyelesaikan kuliahnya hingga lulus. Satu tahun kuliah, Pistorius mulai sibuk mengikuti berbagai kejuaran lari (sprint). Dia mengikuti ajang balap lari untuk kelas T44 (kategori amputasi satu kaki di bawah lutut), dan juga kelas T43 (amputasi dua kaki di bawah lutut). Bermodalkan kemenangan di berbagai ajang lokal tersebut, Pistorius akhirnya tampil di ajang resmi, yakni di Paralympic musim panas di Athena 2004.

Sukses di Paralympic dan Perjuangan Tampil di Olimpiade

Turun di kelas 100 meter kategori T44, Pistorius meraih medali perunggu setelah menjadi yang tercepat ketiga. Sementara di kelas 200m, dia sukses meraih emas dengan menyisihkan dua atlet Amerika Serikat, Marlon Shirley and Brian Frasure.

Bermodalkan dua keping medali tersebut, Pistorius terus mencatatkan prestasi gemilang. Pistorius mencatatkan rekor dunia untuk pelari cacat. Tak tanggung-tanggung, dia mencatatkan diri sebagai pelari tercepat untuk nomor 100, 200 dan 400 meter (46,56 detik).

Prestasi mengesankannya tersebut, membuat Federasi Atletik Dunia (IAAF) mengundangnya ambil bagian pada kejuaraan lari internasional untuk orang normal di Helsinki Finlandia. Sayang, saat itu tidak bisa ikut karena komitmennya terhadap kuliahnya.

Dia baru ikut pada kejuaraan Golden Gala di Roma pada 2007 dan tampil sebagai yang tercepat kedua untuk kualifikasi B untuk nomor 400 meter. Pada kejuaraan finalnya di Sheffield, Inggris, Pistorius mampu finis di urutan tujuh melawan sprinter normal. Namun, dia didiskualifikasi karena berlari keluar jalur.

Pengalamannya bertarung melawan orang normal membuatnya berambisi tampil di ajang Olimpiade Beijing 2008. Sayang, federasi atletik Afsel tidak bisa mengikutertakannya, karena dilarang IAAF.

IAAF melarang Pistorius ambil bagian karena menduga kaki buatan yang digunakannya memberikannya keuntungan, karena sistem pegas dalam alat tersebut. Hal ini, dinilai IAAF mengunguntungkan Pistorius ketimbang pelari normal lain.

Pada November 2007, seorang Ilmuwan asal Jerman Dr Peter Bruggemann ditemani Mr Elio Locatelli melakukan penelitian terkait kaki palsu Pistorius. Usai dua hari melakukan penelitian, mereka menemukan bahwa kaki palsu Pistorius tidak terbukti menguntungkannya. Dia bahkan mengeluarkan energi 25 persen lebih besar ketimbang pelari normal.

Dalam pernyataannya di koran Jerman, Die Welt, Dr Bruggemann mengatakan, “Keunggulan yang dimiliki Pistorius dari pelari normal lain, bukan dikarenakan kaki palsunya .” Sayangnya, pernyataan tersebut tak mengubah keputusan IAAF yang tetap melarang Pistorius ambil bagian di Olimpiade Beijing. Pistorius sendiri mengatakan bahwa keputusan IAAF “terlalu prematur dan subjektif.”

Tak puas dengan keputusan tersebut, Pistorius yang didampingi manajernya Peet van Zyl mengajukan banding ke Court of Arbitration for Sports (CAS) di Lausanne, Swiss. Dalam persidangan, majelis hakim akhirnya mengabulkan banding Pistorius, merujuk bukti-bukti pernyataan beberapa ahli yang mengatakan kaki palsunya itu tidak memberikan keuntungan.

Dalam pernyataan usai sidang, Pistorius mengatakan, “Fokus saya tentang banding ini adalah, memastikan agar atlet cacat diberi kesempatan bersaing dengan mereka yang normal. Saya akan terus berjuang untuk bisa tampil di Olimpiade.”

Dia pun akhirnya mendapat kesempatan mewujudkan mimpinya itu. Untuk tampil di Olimpiade Beijing 2008, Pistorius harus mampu melewati standar kualifikasi A, yakni 45.55 detik untuk nomor 400 meter. Dan 45.95 untuk kualifikasi B. Sayang, dia gagal menembus catatan waktu yang telah ditentukan. Catatan waktu terbaik Pistorius hanya hampir 47 detik.

Kekecewaannya gagal tampil di Olimpiade 2008, dilampiaskannya pada ajang Paralympic 2008. Dia juga tetap mengusung ambisi tampil di Olimpiade London 2012. Di ajang yang memang diperuntukan untuk orang cacat itu, Pistorius tampil menggila dengan menyapu bersih emas di tiga kategori perseorangan, yakni nomor 100m, 200m dan 400 meter (T44).

Berkat penampilan cemerlangnya itu, konfederasi olahraga Afrika Selatan dan komite Olimpiade atletik Afsel akhirnya memasukkan nama Pistorius dalam skuad untuk Olimpiade London 2012.

Dia masuk skuad untuk kategori sprint 400m individu dan estafet 4x400m. Ini membuat Pistorius mencetak sejarah sebagai atlet cacat pertama yang tampil sepanjang sejarah perhelatan Olimpiade.

4 Agustus 2008, Pistorius memulai debut Olimpiadenya pada heat pertama untuk nomor 400m individu. Pistorius mampu mencatatkan waktu tercepat kedua dengan catatan waktu 45.44 detik (catatan terbaiknya), dan melaju ke semifinal. Sayangnya, dia gagal menembus putaran final, karena hanya jadi pelari trcepat ke-8 dan terakhir, di dua semifinal yang diikutinya dengan catatan terbaik 46.54. detik.

Di nomor 4x400 meter estafet putra, Tim Afrika Selatan berhasil lolos heat pertama dan melaju ke semifinal. Sayang, di perjalanan menuju final, Pistorius dkk kembali gagal. Pelari kedua Afsel, Ofentse Mogawane terjatuh dari mengalami cedera sebelum memberikan tongkat estafet untuk Pistorius yang jadi pelari ketiga.

Meski gagal tampil di gelaran utama Olimpiade, Pistorius tetap bangga karena sudah mencatatkan diri sebagai atlet cacat pertama yang bisa tampil di Olimpiade. Pelari yang kemudian mendapat julukan ‘Blade Runner’ ini bahkan dipercaya sebagai pembawa bendera Afsel pada upacara penutupan Olimpiade.

Di ajang Paralympic 2012 yang juga dihelat di London, Pistorius yang ditugaskan membawa bendera Afsel, sukses meraih prestasi. Dia sukses meraih medali di tiga nomor. Perak di nomor 200m dan emas di nomor 400m dan estafet 4x100m. Raihan ini sontak membuatnya dielu-elukan publik Afrika Selatan. Moto Pistorius yang sangat terkenal adalah, “Anda tidak cacat dengan kecatatan yang Anda miliki, tapi Anda bisa karena kemampuan yang Anda miliki,” ujarnya.

Pamor berakhir Tragis

Menyandang predikat sebagai atlet pertama yang tampil di Olimpiade, Pistorius tentunya senang. Namun, yang paling membuatnya bangga adalah, dia bisa tampil di hadapan neneknya yang berusia 89 tahun dan sukses memberikan kebanggaan dengan tampil sebagai pemenang.

Sayang, pamor Pistorius terjun bebas pada medio Februari. Pada suatu malam menjelang 14 Februari 2013, atlet 26 tahun ini melakukan tindakan yang sulit dimaafkan.

Dia menembak mati kekasihnya yang juga model terkenal Afsel, Reeva Steenkamp yang hendak memberikan kejutan valentine kepadanya. Steenkamp yang datang diam-diam dan bersembunyi di toilet, tewas dengan timah panas Pistorius menembus kepala, pinggul dan lengannya.

Dalam keterangannya di pengadilan, Pistorius mengelak bahwa dirinya sengaja melakukan pembunuhan itu. Dengan berurai air mata, Pistorius mengatakan bahwa dirinya tidak sengaja menembak sang kekasih karena mengira Steenkamp adalah penyusup yang punya niat jahat di rumahnya.

Namun, jaksa penutut punya opini lain. Dia mengatakan bahwa Pistorius sengaja membunuh sang kekasih karena keduanya sebelumnya memang kerap terlibat cekcok. Sang penuntut juga sempat mengajukan saksi mata yang memperkuat tuduhannya tersebut.

Meski demikian, pernyataan saksi-saksi yang diajukan penuntut tidak konsisten. Hingga akhirnya, hakim Desmond Nair memutuskan mengabulkan permintaan pengacara Pistorius yang meminta kliennya dibebaskan dengan jaminan bahwa kliennya tidak akan melarikan diri.

Kasus Pistorius untuk sementara ditangguhkan dan ditunda hingga 4 Juni 2013. Sebagai jaminan, Pistorius harus membayar 1 juta rand atau setara Rp1 miliar. Selain membayar denda, Pistorius juga wajib menyerahkan dua senapan yang digunakannya untuk membunuh sang kekasih,menyerahkan dua paspor miliknya guna mencegahnya pergi ke luar negeri.

Selain itu, Pistorius juga dilarang tinggal di rumahnya dan bersentuhan dengan para saksi dan wajib melapor ke pihak yang berwajib selama dua kali dalam sepekan, serta tidak boleh menenggak minuman beralkohol. Saat ini, Pistorius tinggal bersama Pamannya di kawasan Pretoria.

(acf)

Bagikan Artikel Ini

Cari Berita Lain Di Sini